jejakperadaban.com | Sirah Sahabat Nabi |
Ashim ibn Tsabit, sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang berasal dari suku Aus keturunan Bani Dhubay. Ia mendapat kemuliaan tersendiri di sisi Allah.
Allah berfirman, "Kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang mukmin."
Pertolongan Allah sungguh Mahaluas. Dialah sebaik-baik penjaga bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Pertolongan Allah tak ada habisnya diberikan kepada orang beriman siang dan malam, karena Dia tak pernah tidur atau pun lelah.
Ashim ibn Tsabit ibn Abu al-Aqlah al-Anshari al-Ausi adalah orang yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya serta kaum Muslim. Ia kerap disapa dengan nama Abu Sulaiman. Ia termasuk golongan yang disebutkan dalam firman Allah:
Orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang Muhajirin dan Ansar dan orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah rida kepada mereka, dan mereka pun rida kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya. Mereka kekal didalam selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah: 100)
Ashim termasuk dalam golongan orang yang pertama-tama masuk islam (As-Sabiqun Al-Awalun). Perang badar menjadi pembuktian keimanan bagi kaum Muslimin. Perang itu menjadi ujian besar, karena mereka harus mengahadapi pasukan yang jumlahnya lebih besar. Mereka sukses melewati ujian itu dan mendapat kemenangan yang besar. Ashim ikut serta dalam peperangan itu. Ia menyaksikan para pemuka Quraisy terkapar berkalang tanah
Suatu hari Rasulullah saw. mengajukan pertanyaan kerpada para sahabatnya tentang cara berperang, Ashim ibn Tsabit segera mengambil tombak dan prisainya, lalu menjawab, "Ketika musuh sudah dekat, kira-kira 200 hasta, senjata yang harus digunakan adalah panah. Jika jarak mereka kira-kira sepenombak, gunakanlah tombak untuk bertempur sampai tombak kita patah. Jika tombak sudah patah, singkirkan tombak, dan gunakanlah pedang untuk pertarungan jarak dekat."
Nabi saw. bersabda, "Begitulah perang dijalankan, barang siapa yang berperang hendaklah ia berperang seperti cara Ashim berperang."
Berbahagialah Ashim, karena pandanganya diakui oleh seorang manusia yang paling mulia dan sangat memahami cara-cara berperang. Ashim sendiri adalah salah seorang dari empat orang kebanggaan suku Aus. Tiga orang lainnya adalah Sa’d ibn Muaz yang kematiannya menggetarkan Arasy, Hanzalah ibn Abu Amir yang jenazahnya dimandikan para malaikat, dan Khuzaimah ibn Tsabit—pemilik dua kesaksian. Rasulullah saw. menyatakan bahwa kesaksian seorang Hanzalah setara dengan kesaksian dua laki-laki. Hanya Hanazalah seorang yang mendapat kemuliaan seperti itu.
Ashim ikut merasakan kecamuk Perang Badar yang sangat dahsyat. Saat itu, kaum muslimin menyaksikan bagaimana para pemuka kafir tewas terbunuh. Hari Badar menjadi salah satu bukti yang menegaskan kemuliaan Islam dan kesesatan kaum musyrik.
Pada Perang Badar dan Uhud, Ashim membuktikan keberanian dan kepahlawannya. Di Perang Badar, Rasulullah saw. menyuruhnya membunuh pemimpin Quraisy kedua setelah Abu Jahal, yaitu Uqbah ibn Abu Mu'ith, yang berhasil membunuh Musafi dan Kilab—dua bersaudara putra Thalhah ibn Abu Thalhah; keduanya terkapar oleh anak panah Ashim. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, salah seorang dari dua bersaudara itu berkata kepada ibunya bahwa orang yang memanahnya berkata, "Rasulullah! Aku adalah Ibn Abu Al-Aqlah." Salafah bersumpah bahwa ia minum arak dari tengkorak kepala Ashim.
Pada tahun keempat hijriah datang para utusan dari beberapa penjuru Jazirah ke Madinah. Mereka menghadap Rasulullah saw. dan bersyahadat. Mereka memohon agar beliau mengutus beberapa sahabat untuk mengajarkan agama dan membacakan Al-Quran kepada kaum mereka. Maka, beliau menyuruh enam orang sahabatnya untuk mengemban tugas itu. Mereka adalah Martsad ibn Abu Martsad—pemimpin rombongan, Ashim ibn Tsabit ibn Abu al-Aqlah, Khalid ibn al-Bukair, Khubaib ibn Adi, Zaid ibn al-Datsinah dan Abdullah ibn Thariq.
Namun, saat rombongan itu tiba di mata air al-Raji, milik suku Hudzail, keenam sahabat itu dikepung. Ketika mereka meminta bantuan kepada suku Hudzail, tak seorang pun mau menolong. Tak ada jalan lain, mereka hunus sejata masing-masing dan siap bertarung. Namun, para penyerang itu berkata, "Demi Allah, kami tak ingin membunuh kalian. Kami ingin membawa kalian kepada penduduk Makkah agar kami mendapat imbalan."
Mereka berjanji tidak akan menyakiti para sahabat itu, namun Martsad ibn Abu Martsad, Ibn al-Bukair, dan Ashim menolak tawaran mereka. Ketiganya berkata, "Demi Allah, kami tidak menerima janji atau ikatan apa pun dari orang musyrik."
Ketiga Sahabat itu memilih untuk bertarung hingga mereka terbunuh. Sementara tiga sahabat lainnya, yaitu Zaid, Khubaib, dan Ibn Thariq memilih ditawan, berharap mereka akan selamat di Makkah. Para penyerang itu memutuskan tali busur panah mereka, dan mengikat ketika tawanan dengan tali busur tersebut. Baru beberapa saat rombongan itu berjalan, Abdullah ibn Thariq berhasil melepaskan ikatan, lalu merebut pedang dan menyerang musuh. Sayang, musuh melihat upayanya itu dan langsung melemparkan batu besar ke arahnya hingga ia wafat. Jasadnya dikuburkan di daerah Zahran.
Mereka melanjutkan perjalan mengiring Khubaib dan Zaid hingga tiba di Makkah. Zaid dibeli oleh Shafwan ibn Umayyah, sementara Khubaib dibeli oleh hajar ibn Abu Ihab al-Tamimi untuk diberikan kepada Uqbah ibn al-Harits ibn Amir. Keduanya dibeli untuk dibunuh sebagai balas dendam atas kematian anggota keluarga mereka dalam Perang Badar dan Perang Uhud.
Setelah berhasil membunuh Ashim ibn Tsabit, suku Hudzail bermaksud memenggal kepalanya untuk dijual kepada Salafah bin Sa’d yang pernah bersumpah akan minum arak dari tengkorak Ashim. Ketika mereka mendekatu jasad Ashim, tiba-tiba gerombolan lebah menutupi tubuh Ashim bagaikan awan hitam. Mereka tak dapat mendekati apalagi menyentuh jasad Ashim untuk memenggal kepalanya. Lebah itu adalah tentara Allah, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri.
Menyaksikan kejadian tersebut, mereka berkata satu sama lain, "Lebih baik kita tunggu sampai malam hingga lebah-lebah itu pergi. Baru kemudian kita ambil jasadnya." Saat mereka menunggu, tiba-tiba mencul air bah dari atas bukit menghanyutkan jenazah Ashim. Hanya Allah yang tahu ke mana jenazah itu hanyut.
Ketika mendengar kabar tentang Ashim, Umar ibn al-Khattab berkata, "Sungguh ajaib cara Allah menjaga hamba-Nya yang beriman. Ashim pernah bersumpah tidak akan disentuh dan menyentuh seorang musysrik pun selama hidupnya. Maka, Allah menjaganya setelah ia wafat sebagaimana Dia menajaganya semasa hidup." Benar, siapa saja yang benar-benar memegang janji kepada Allah, niscaya Dia akan memenuhi janji-Nya.
Wallahu a'lam
Semoga Allah merahmati.[]